Melemahnya nilai rupiah dan nilai mata uang Asia lainnya
seperti ruppe (India) terhadap dollar telah mengingatkan kita pada krisis
finansial Asia pada 1997. Pemerintah telah mengeluarkan 4 paket kebijakan baru
untuk mengatasi penurunan nilai rupiah. Pertama, memperbaiki defisit transaksi
berjalan dan nilai tukar rupiah terhadap dollar dengan mendorong ekspor dan
keringanan pajak kepada industri tertentu. Kedua, menjaga pertumbuhan ekonomi.
Pemerintah akan memastikan defisit APBN-2013 tetap sebesar 2,38% dan pembiayaan
aman. Ketiga, menjaga daya beli. Keempat, mempercepat investasi. (Detikfinance,
Senin, 26/08/2013)
Walaupun kebijakan sudah dikelurkan tetapi nilai tukar
rupiah terhadap dollar AS masih terus melemah. Seperti yang dikutip dari
Reusters, Senin (26/08/2013), nilai tukar rupiah terhadap dollar AS dibuka
melemah pada posisi Rp 10.800 per dollar AS dibandingkan posisi pada penutupan
perdagangan akhir pekan lalu di Rp 10.770 per dollar AS.
Ekonomi Kapitalis
Biang Krisis
Wapres Boediono menyatakan : “Jangan sebut rupiah
melemah, tapi dollar menguat..” (Detikfinance, 22/08/2013). Pernyataan ini
menyesatkan, seolah-olah melemahnya nilai rupiah bukan akibat kebijakan ekonomi
Indonesia. Padahal melemahnya nilai rupiah atau awal krisis moneter ini
disebabkan oleh kebijakan ekonomi yang makin kapitalis yang diterapkan rezim
SBY-Boediono.
Penyebab terjadinya krisis moneter yang selalu berulang
di Indonesia dan juga kawasan Asia, bahkan juga negara-negara Eropa dan
Amerika, sebenarnya disebabkan adanya faktor internal-subtansial dari sistem
ekonomi kapitalis yang diterapkan di dunia saat ini. Sistem ekonomi kapitalis
ini dirancang sedemikian rupa oleh negara-negara barat dengan tujuan untuk
mempertahankan hegemoninya terhadap negara-negara berkembang. Diantara prinsip
dan pola sistem kapitalis yang menyebabkan terjadinya krisis ini adalah: Sistem
perbankan dengan suku bunga; berkembangnya sektor non riil; utang luar negeri
yang menjadi tumpuan pembiayaan pembangunan; penggunaan sistem moneter yang
tidak disandarkan pada emas dan perak; dan liberalisasi atau swastanisasi
sumberdaya alam.
Praktek ribawi, sejak masa Yunani kuno, sebenarnya tidak
disukai dan dikecam habis-habisan. Aristoteles mengutuk sistem pembungaan
inidengan mengatakan riba bagai ayam betina yang mandul dan tidak bisa
bertelur. Begitu juga ekonom modern, misalnya J.M Keyness, mengkritik
habis-habisan teori klasik mengenai bunga uang ini. Keynes beranggapan,
perkembangan modal tertahan oleh adanya suku bunga uang. Jika saja hambatan ini
dihilangkan, lanjut Keyness, maka pertumbuhan modal di dunia modern akan
berkembang cepat. Hal ini memerlukan kebijakan yang mengatur agar suku
bungabuang sama dengan nol.
Di sektor non riil diperdagangkan mata uang dan surat
berharga termasuk surat utang, saham, dan lainnya. Sektor ini terus membesar
dan segala transaksinya tidak berpengaruh langsung pada sektor rill (sektor
barang dan jasa). Pertumbuhan yang ditopang sektor ini akhirnya menjadi
pertumbuhan semu. Secara angka ekonomi tumbuh tapi tidak berdampak pada
perekonomian secara riil dan perbaikan taraf ekonomi masyarakat.
Transaksi di sektor keuangan ini lebih banyak ditujukan
untuk mendapat keuntungan yang besar secara cepat dari selisih harga valuta dan
surat berharga. Makin besar selisih makin besar pula keuntungan yang didapat.
Untuk itu tak jarang para pelaku sektor ini merekayasa pasar modal. Saat ini
transaksi yang terjadi di pasar finansial sekitar Rp 6,7 Triliun per hari dan
60% masih dikuasai asing. Jika investasi di luar negeri lebih menarik, dalam
waktu singkat bisa terjadi aliran modal ke luar negeri (capital outflow) yang bisa menyebabkan melemahnya nilai rupiah. Dan
itulah diantaranya yang terjadi akhir-akhir ini.
Sementara itu, utang luar negeri oleh para penjajah dijadikan
sebagai salah satu penjajahan baru. Dengan utang, negara-negara berkembang
terjebak dalam perangkap utang atau Debt
Trape. Mereka terus dieksploitasi dan kebijakannya dikendalikan. Negeri
ini, dari tahun 2000-2011, telah membayar pokok dan bunga utang yang totalnya
lebih dari 1800 triliun rupiah. Namun nyatanya, total utang negeri ini tidak
pernah berkurang, bahkan terus meningkat hingga lebih dari 2000 triliun rupiah
pada saat ini. Ketika banyak utang luar negeri yang jatuh tempo secara
bersamaan, termasuk utang luar negeri pihak swasta, mereka pun ramai-ramai
mencari mata uang asing terutama dollar, dengan menjual rupiah. Akibatnya, kurs
rupiah pun melemah.
Semua ini diperparah oleh sistem moneter yang diterapkan
di seluruh dunia saat ini yang tidak disandarkan pada emas dan perak. Uang
akhirnya tidak memiliki nilai instrinsik yang bisa menjagai nilainya. Nilai
nominal tertera ternyata sangat jauh berbeda dengan nilai instrinsiknya. Ketika
terjadi penambahan uang baru melaului pencetakan uang baru atau penambahan
total nominal uang melalui sistem bunga dan reserve
banking, maka total nominal uang dan jumlah uang yang beredar bertambah
lebih banyak, tak sebanding dengan pertambahan jumlah barang. Akibatnya, nilai
mata uang turun dan terjadilah inflasi. Inflasi otomatis ini diperparah dengan
kegagalan pemerintah me-manage
produksi dan pasokan barang, terutama bahan pangan, seperti yang terjadi saat
ini, begitu pula dengan kebijakan kenaikan harga BBM.
Sementara itu sumberdaya alam dikelola dengan cara liberalisasi
dan privatisasi. Akibatnya, hampir sebagian besaar SDA dikuasai oleh swasta,
terutama asing, khususnya sumber energi. Menurut BPK, perusahaan asing
menguasai 70% pertambangan migas; 75% tambang batu bara, bauksit, nikel, dan
timah; 85% tambang tembaga dan emas; serta 50% perkebunan sawit (http://www.tempo.co/read/news/2013/07/31).
Kondisi ini menyebabkan mahalnya Bahan Bakar Minyak yang juga menyebabkan
terjadinya inflasi.
Saatnya Kembali
Pada Sistem Ekonomi & Moneter Islam
Satu-satunya cara untuk menyelesaikan krisis ekonomi ini
secara tuntas adalah dengan mengembalikan penerapan ekonomi Islam di
tengah-tengah kehidupan kaum Muslimin. Terkait faktor penyebab krisis diatas,
sistem ekonomi Islam telah memberikan solusi dan pernah diterapkan selama
kurang lebih tiga belas abad lamanya. Hasilnya adalah kemakmuran dan
kesejahteraan yang dirasakan, bukan hanya oleh kaum Muslimin,tetapi juga oleh
seluruh umat manusia yang ada pada saat itu.
Penerapan sistem ekonomi Islam akan menghasilkan
perekonomian yang stabil, jauh dari krisis, tumbuh secara hakiki dan
berpengaruh riil pada taraf hidup masyarakat. Sistem ekonomi Islam
menghilangkan dan mengatasi lima faktor utama krisis dan ketidakstabilan sistem
ekonomi kapitalis itu.
Islam dengan tegas mengharamkan riba dengan segala
bentuknya. Allah menegaskan:
وَأَحَلَّ
اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (TQS. Al-Baqarah:
275)
Al-Qur’an menyebutkan, orang yang makan riba tidak bisa
berdiri tegak. Hal itu mengisyaratkan sistem ekonomi yang dibangun berasaskan
riba tidak akan tegak stabil. Sebaliknya, akan terus goyang bahkan krisis. Maka
dengan menghilangkan riba, perekonomian akan stabil. Lebih dari itu
perekonomian akan berjalan adil, fair, dan jauh dari kezaliman, eksploitasi,
dan penjajahan dihilangkan.
Disamping menghilangkan riba, sistem ekonomi Islam juga
meniadakan sektor non riil. Dengan begitu, semua perputaran uang akan berdampak
langsung pada berputarnya roda ekonomi riil. Pada gilirannya akan berdampak
langsung dalam kehidupan ekonomi riil masyarakat. Pertumbuhan yang dihasilkan
pun akan menjadi pertumbuhan yang riil dan hakiki, tidak lagi semu. Pertumbuhan
akan bisa dilihat pada peningkatan kemakmuran rakyat.
Kestabilan ekonomi ini akan diperkokoh lagi dengan sistem
moneter islam dengan pemberlakuan mata uang yang berbasis emas dan perak, atau
dinar dan dirham. Mata uang ini memiliki nilai instrinsik sehingga nilainya
stabil. Selain itu, mata uang difungsikan benar-benar sebagai alat tukar, bukan
sebagai komoditi yang bisa menjadi bulan-bulanan para spekulan. Dengan demikian
nilai tukarnya akan stabil.
Semua
itu akan menghasilkan kemakmuran bagi masyarakat. Kemakmuran ini akan makin
besar dengan pengelolaan SDA sesuai syariah. SDA yang menjadi kebutuhan bersama
masyarakat, seperti air, padaang rumput, hutan, barang tambang, dan energi
serta SDA yang tabiat pembentukannya tidak bisa dimiliki secara pribadi seperti
sungai, laut, selat, danau, dsb. Semua itu ditetapkan sebagai milik umum.
Karena itu tidak boleh di privatisasi dan harus dikelola negara. Dan hasilnya
secara keseluruhan dikembalikan kepada rakyat.
Penerapan
sistem ekonomi Islam secara total akan memberikan kestabilan daan kemakmuran
bagi semua rakyat, baik muslim maupun non muslim. Sebaliknya, penerapan sistem
ekonomi kapitalis yang jauh dari tuntunan Allah akan mendatangkan kesempitan
hidup seperti yang dirasakan saat ini. Allah SWT telah memperingatkan:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا
“Dan barangsiapa
berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang
sempit”
(TQS.Thaha: 124)
Wahai Kaum Muslimin
Penerapan
sistem ekonomi Islam yang menyejahterakan itu tidak akan mungkin terwujud
kecuali dengan menerapkan syariah Islam secara total dibawah sistem Khilafah
Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian.
Karena itu, berulang-ulangnya krisis moneter dan krisis ekonomi seperti
sekarang ini mestinya melecut kita untuk segera mewujudkan penerapan syariah
Islam dibawah sistem Khilafah Rasyidah itu.
Wallah a’lam bi
ash-shawab.
0 komentar:
Post a Comment