04 December 2011

Makna Sebuah Kematian

Islam mengajarkan beberapa hal tentang penderitaan dan kematian:

* Kematian adalah kepastian, dan tidak ada yang bisa menghalangi datangnya saat itu. QS An-Nisa (4:78) menyebutkan: Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh…. Kita tidak bisa melarikan diri darinya karena dia yang akan mendatangi kita: Katakanlah: "Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu".QS Al Jumuah (62:8).


* Musibah adalah bagian dari takdir, karenanya manusia harus menyerahkan semuanya kembali pada Sang Khalik. QS Al Baqarah (2:156): orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Sebenarnya, kalimat yang bermakna semua yang berasal dariNya akan kembali padaNya ini tidak hanya untuk mengikhlaskan kematian, tetapi juga bila kita sendiri tertimpa bencana.

* Manusia harus meyakini bahwa semua kejadian di dunia termasuk musibah. QS At-Taghaabuun (64:11): Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Pepatah menyebutkan, manusia berencana Tuhan yang menentukan. Jadi, di atas bumi manusia boleh membuat rencana apapun, keinginan yang sebesar gunung sekalipun, namun pada akhirnya ada kekuatan besar yang bakal mewujudkan atau justru membatalkan semua rencana itu.

Betapa ringkihnya sebenarnya manusia ini, karena dia tidak bisa menolak bala atau bencana, dan tidak bisa bersembunyi apalagi lari dari kematian. Bahkan rizki yang diidamkan pun bukan hak prerogatifnya untuk bisa diraih sekehendak hati.

Kematian sudah pasti menyedihkan orang yang ditinggalkan, meskipun sebenarnya orang yang mati tidak merasakan lagi duka selama hidup. Sebagian pendapat menyebutkan bahwa, kesedihan atas meninggalnya orang yang kita kasihi sebenarnya adalah mengasihani diri sendiri. Kesedihan itu muncul karena tidak akan melihat kerabat yang meninggal, atau karena tidak tahu harus bagaimana setelah ditinggal mati, atau khawatir pada penghasilan setelah ditinggal mati … dan seribu alasan kesedihan lainnya. Orang yang tidak berpamrih pada orang yang mati, tentu saja tidak bakal merasakan kedalaman kesedihan.

Menangisi jenazah secara wajar masih masih diperkenankan, namun berurai air mata berlebihan, meraung-raung, tidak diijinkan dalam Islam. Alasannya, kematian adalah takdir, dan datangnya pasti dari Allah. Menangisi kerabat yang meninggal secara wajar adalah kesedihan biasa, tapi raungan dan ratapan menunjukkan penolakan pada ketetapan Allah akan umur manusia. Mungkin keikhlasan perlu waktu, tetapi keyakinan bahwa garis hidup di tangan Allah harus seketika itu dipahami manusia.

Islam mengajarkan umatnya untuk mengambil hikmah dari sebuah bala termasuk kematian, karena tidak ada satupun kejadian buruk yang tanpa ijinNya. Sebuah bencana, misalnya sakit atau kecelakaan, termasuk kematian, pada dasarnya tidak berdiri sendiri. Jika bukan untuk diri orang yang mengalami bala atau kematian, yang harus memetik hikmah adalah orang-orang di sekitarnya.

Kembali pada teman yang barusan meninggal, kami yang ditinggalkan hanya bisa menyerahkan semuanya pada Allah seraya mencari hikmah. Seorang wanita yang baik dan ramah, tidak pernah saya melihatnya membuat orang lain sakit hati. Hingga akhir hayatnya ia tidak menemukan jodohnya, justru Allah mencobanya dengan kanker yang diidapnya selama beberapa tahun. Mungkin buku hidup almarhumah sudah usai, namun kami semua yang ditinggalkan harus memahami alasan semua kontradiksi tersebut dalam rangka mencari pelajaran dari cobaan berat tersebut.

Atau mungkin kematiannya dimaksudkan untuk kebaikan keluarga besarnya. Wallahu a’lam bishawwab …..

0 komentar:

Post a Comment